Asalkan ada ayah

Hmmmm....
Kupandangi Al Quran bersampul kuning keemasan itu.. Warnanya tak pudar walaupun telah sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku. Lembarannya tak cacat walaupun sering kubaca. Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub maharku itu seperti ini...
Suamiku baru pulang kerja. Dia tampak lelah.. kusiapkan air hangat untuknya sore ini. Makanan dan minuman kesukaannya telah kuhidangkan dimeja makan lebih awal. Sprei tempat tidur telah aku ganti. Gordin telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah telah aku bersihkan tadi pagi dan selesai sore hari.
“ Kok senyum aja sih dari tadi....??? “ suamiku menegurku.
Aku hanya bisa tertawa kecil. “ gak kenapa – napa ,. Pengen sedekah aje.. he..he...”.
Suamiku membalas senyumanku dan pergi mandi. Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu... dan sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan penuh kenangan. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena pemilik sebenarnya akan pindah keluar kota dan menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur akhir – akhir ini untuk melunasinya.
Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam sebelum isya. Kebetulan anak – anak sedang liburan dirumah neneknya di Bandung dan di Karawang. Rumah jadi terasa sepi. Terdengar suara motor berderu melewati rumah kami sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga sebelah rumah dan sesekali tawa mereka. Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju koko warna biru kesukaannya telah dipakainya. Dia telah siap untuk berangkat ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu... kalem.
Hmmmm... dia masih tetap dengan pendiriannya, subhanallah...
Pulang suamiku dari masjid aku baru saja selesai mencuci piring.
“ Ayah baru inget. Sepuluh tahun lalu Ayah nikahin bunda ya? Pantes dari tadi senyum aja. Ngerayain yang kaya gitu – gitu gak level kan bunda...?! Nah, mendingan pijetin Ayah nih, Ayah capek banget hari ini.”
Ha..ha..ha.. masih dari dulu emang manja Ayah ini. Tapi tidak saat dia datang kerumahku sepuluh tahun lalu. Aku hanya bisa mendengar percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah, aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang untuk hidup dijaman sekarang , pekerjaan suamiku yang tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kami nanti. Maklum lah hanya sebagai seorang security, dan aku pun baru lulus kuliah. Tapi suamiku percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya. Sempat kututup kedua telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu. Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia – sia. Dan untuk tidak menjadi istri seorang yang saleh seperti dia adalah kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku dengan tersenyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama. Hingga aku tak menyadari bahwa saat itu suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan akhirnya meyakinkan beliau.
Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal dirumah orang tuaku. Karena rumah yang dikontarak suamiku baru bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini. Selama seminggu itu dia sibuk sekali. Entah apa saja yang dikerjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu, ada rasa khawatir diwajahnya saat ia mengatakan padaku, “ Bunda, di rumah itu... nggak ada apa – apanya “.
Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada. Hanya saja mungkin ini masalah harga diri bagi kaum lelak , aku juga tidak begitu mengerti. Ditengah kekhawatirannya itu aku katakan padanya, “ Ayah... asalkan ada ember biar Bunda bisa nyuciin baju Ayah, asalkan ada paku dan tali biar Bunda bisa ngejemur, asal ada api biar Bunda bisa masak buat Ayah, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain buat nutup jendela, asal ada sapu biar rumah kita tetap bersih, asal ada cukup air, asal bisa beli bayam dan tempe, dan selang hari kita shaum... insya Allah, itu bukan masalah bagi Bunda “.
Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu. Hhh... aku jadi sedih. Sejak ta’aruf dulu, dia telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan aku telah menyatakan kesiapanku... insya Allah, aku sanggup menghadapi apapun... bersamanya....
Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu memang aku tidak diizinkannya untuk melihat kontrakan itu. Dan saat aku sampai disana... Subhanallah..., ruang tamu mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa kulihat dirumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak buku itu memang dibuatkan khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca buku. Wah , pantas saja aku tak melihat rak itu dirumah akhir – akhir ini. Aku melihat – lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang sederhana hanya tersedia dua bangku disitu dengan meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Dikamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur, lemari baju dan meja hias. Disebelah kamar itu ada ruangan kosong, untuk kamar anak – anak kelak. Didapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan ibu mertuaku. Dibagian belakang rumah itu ada kamar mandi. Diluarnya telah ada sapu injuk dan sapu lidi plus tempat sampah. Ditempat mencuci ada ember dan gayung, semua jendela telah bergordin. Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku berkata, “ Bunda... Ayah lupa beli tali sama paku buat jemuran”.
Hi..hi...hi.. aku tertawa cekikikan. “ Bunda kira rumahnya bener – bener kosong nggak ada apa – apanya”.
“ Yaaaah... maksud Ayah gak ada apa – apanya dibandingkan dengan rumah Bunda”.
Hi..hi..hi.. Ayah...Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang suami seperti Ayah, yang sholih, yang bisa jadi imam buat bunda agar tetap istiqomah dalam islam, yang sayang pada Bunda dan keluarga, yang optimis, yang mau usaha, tawakal.
Jadi dimanapun kita tinggal, seperti apapun keadaanya, sekurang apapun fasilitasnya, asalakan ada Ayah... hidupku udah lengkap.
V-ra 88 (14/12/07 08:17 WIBB)